Senin, 28 Oktober 2019

Sultan Ageng Tirtayasa

0 Comments

PENYELAMAT TAHTA
Di bawah pemerintahan Panembahan Yusuf, Kesultanan Surasowan Wahanten (Banten), semakin berkembang pesat, terutama dalam hal pembangunan kota, pengembangan areal pertanian, niaga maritim, keamanan dan perluasan daerah kekuasaan. Sejak direbutnya Pakuan (ibukota Kerajaan Sunda Pajajaran) pada tahun 1579, wilayah tersebut sudah menjadi bagian dari Kesultanan Surasowan Banten. Panembahan Yusuf, berhasil menjadi pewaris sekaligus penerus tahta Kerajaan Sunda Pajajaran. Dari permaisuri Ratu Hadijah, Maulana Yusuf mempunyai dua orang putera, antara lain:
1. Rata Winahon; dan
2. Pangeran Muhammad.

Ketika Maulana Yusuf sakit keras, Pangeran Arya bersama pasukan pengawalnya, di bawah pimpinan Ki Demang Laksamana, sudah berada di Kesultanan Surasowan Banten. Pangeran Arya, adalah putera Maulana Hasanuddin dari isterinya yang kedua, Ratu Ayu Kirana (puteri Raden Patah). Sejak kecil, Pangeran Arya dijadikan anak angkat oleh Ratu Kalinyamat (adik Ratu Ayu Kirana), tinggal di keraton Japara. Oleh karena itu, ia dikenal juga dengan sebutan, Pangeran Japara. Pada tahun 1580, Maulana Yusuf meninggal dunia. Ketika itu, putera mahkota Pangeran Muhammad, baru berusia 9 tahun. Melihat kenyataan seperti itu, beberapa pembesar kerajaan (termasuk Mangkubumi Jayanagara), berniat menyerahkan tahta Kesultanan Surasowan, kepada Pangeran Japara. Akan tetapi, Panghulu Negara (Kadhi), melindungi dan mempertahankan Pangeran Muhammad, sebagai penerus tahta Kesultanan Surasowan Banten, sesuai dengan amanat Panembahan Yusuf. Alangkah kecewanya Pangeran Japara. Konflik tidak dapat dihindari lagi. Maka terjadilah pertempuran sengit di luar benteng istana Surasowan. Pangeran Japara bersama pasukannya, terdesak oleh pasukan Surasowan Banten. Dalam pertempuran itu, Ki Demang Laksamana tewas di tangan Mangkubumi Jayanagara, yang akhirnya ikut melindungi din mempertahankan Pangeran Muhammad. Ambisi Pangeran Japara untuk merebut tahta Kesultanan Surasowan, tidak tercapai, dan akhirnya diusir dari Banten.

Setelah persitiwa itu, Maulana Muhammad dinobatkan menjadi Sultan Surasowan Banten yang ketiga. la lebih dikenal dengan sebutan Kanjeng Ratu Banten. Untuk menjalankan pemerintahan sehari‑hari, Mangkubumi Jayanagara, bertindak sebagai walinya. Seperti halnya ayah dan kakeknya, Maulana Muhammad pun terkenal sebagai Sultan Banten yang saleh. la banyak menyusun kitab‑kitab hukum Islam dan mendirikan masjid, hingga ke pelosok-pelosok desa. Masjid Agung yang terletak di tepi alun‑alum diperindah, temboknya dilapisi porselen, dan tiangnya dibuat dari kayu cendana (Michrob,1993: 89). Pada tanggal 2 April 1595 berlayarlah empat buah armada dagang Belanda milik "Compagnie van Verre'; di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dan Pieter de Keyser. Bersama 249 pasukannya, mereka berangkat dari pangkalan Tessel, di bagian utara Kerajaan Belanda. Rupa‑rupanya, mereka telah mencium wangi rempah‑rempah Nusantara, dari berita pedagang Portugis. Melalui Tanjung Harapan, pada tanggal 22 Juni 1596, mereka berlabuh di pesisir Kesultanan Surasowan Banten. Dalam pelayarannya, disertai juru tulis Willem Lodewycksz, sebagai pencatat perjalanan. la melukiskan keadaan perdagangan di Kesultanan Surasowan Banten, antara lain sebagai berikut :

Di sebelah timur kota, yaitu daerah Karangantu, terdapat sebuah pasar yang pagi maupun siang terdapat pedagang‑pedagang dari Portugis, Arab, Turki, Cina, Keling, Pegu, Malaya, Bengali, Gujarat, Malabar, dan Abesinia. Juga terdapat pedagang‑pedagang dan Nusantara, seperti dari Bugis, Jawa, dan lain‑lain. Pasar kedua terletak di Paseban, yang memperdagangkan keperluan sehari‑hari. Dan pasar yang ketiga, terletak di Pacinan, yang dibuka sebelum dan sesudah pasar‑pasar lain tutup. Barang‑barang yang diperdagangkan di pasar ketiga ini bermacam ragam, mulai dari kain sutra dari Cina dan Gujarat sampai sisir dan kipas. Diceritakan pula, bahwa barang‑barang tekstil dari Gujarat ini 20 jenis. Transaksi perdagangan di pasar ini berjalan mudah, karena mata uang dan pertukaran mata uang (money changer) sudah dikenal (Michrob,1993: 89).

Sikap Cornelis de Houtman, yang kasar dan tidak bijaksana, membuat kunjungannya di Banten (22 Juni 3 Juli 1596), tidak menghasilkan apa‑apa. Bahkan, karena kecongkakannya, ia sempat ditahan oleh Penguasa Surasowan Banten. Armada dagang yang dipimpinnya, diusir dan pelabuhan Kesultanan Surasowan Banten. Setelah terusir dari negeri Surasowan Banten, Cornelis de Houtman bersama pasukannya, melanjutnya perjalanan ke Jayakarta. Mereka tiba di sana, pada tanggal 13 November 1596. Kemudian, ia melanjutkan perjalanan, menuju negeri Aceh Darusalam (1599). Karena sikap congkaknya, di negeri rencong itu, ia tewas terbunuh. Sementara itu, penguasa Kesultanan Surasowan Banten Maulana Muhammad, pada tahun 1596 melancarkan aksi penyerangan ke Palembang. Peristiwa ini berawal dari hasutan Pangeran Mas, putera Aria Pangiri, cucu Sunan Prawoto Demak, yang ingin menguasai penguasa di Palembang. Menurut catatan Hoesein Djajadiningrat dan Hamka yang dikutip oleh Halwany Michrob, penyerangan Sultan Maulana Muhammad ke Palembang, menggunakan kapal perang Kesultanan Surasowan Banten. la memimpin langsung pasukannya, didampingi Mangkubumi dan Pangeran Mas.

Pertempuran sengit, berlangsung di sekitar Sungai Musi, hampir memukul mundur pasukan Palembang. Akan tetapi, Sultan Maulana Muhammad tertembak dan gugur di atas kapal Indrajaladri. Akhirnya, armada Kesultanan Surasowan Banten, ditarik mundur. Sultan Maulana Muhammad meninggal dalam usia 25 tahun. Dari permaisuri Ratu Wanagiri (puteri Mangkubumi Jayanagara), Sultan Maulana Muhammad, berputera Abdulmafakhir, yang baru berusia 9 bulan. Akhirnya Abdulmafakhir diangkat sebagai pengganti ayahnya, melanjutkan tahta Kesultanan Surasowan Banten. Sultan yang masih bayi itu, didampingi oleh kakeknya, Mangkubumi Jayanagara, sebagai Wali Kesultanan. Akan tetapi, pada tahun 1602, Mangkubumi Jayanagara meninggal dunia.
Selanjutnya, jabatan Wali Kerajaan, diserahkan kepada adiknya Mangkubumi Jayanagara. Kedudukan Mangkubumi yang baru ini tidak berlangsung lama. Sebab, sikap dan tindakannya tidak sesuai dengan jabatannya. Akhirnya, pada tanggal 17 Nopember 1602, ia diturunkan dari jabatannya.
Perwalian, terpaksa dipegang langsung oleh ibunda Sultan, Ratu Wanagiri. Akan tetapi Ratu Wanagiri yang berstatus janda, menikah lagi dengan seorang bangsawan keraton. Suaminya diangkat menjadi Mangkubumi. Sementara itu, pada tahun yang sama (1602), di Belanda terjadi peristiwa penting. Sejak pelabuhan‑pelabuhan di Nusantara ramai oleh kapal‑kapal dagang dari Eropa, terjadi persaingan ketat perdagangan memperebutkan rempah‑rempah dari negeri timur, yang ternyata merugikan perdagangan Belanda. Melihat kondisi seperti ini, Kerajaan Belanda membentuk Vereenigde Oost Indische Campagnie (VOC). Kongsi dagang tersebut, oleh penduduk Nusantara, dikenal sebagai Kompeni atau Kumpeni. Sementara itu, di kalangan Keraton Surasowan Banten, sikap Mangkubumi sangat mengecewakan. la terlalu sibuk dengan urusan pribadi, yang mengabaikan kepentingan negara dan rakyat, menimbulkan rasa ketidakpuasan para pembesar kerajaan. Rasa ketidakpuasan itu, mencapai puncaknya, pada tahun 1604. Putera Maulana Yusuf dari isteri kedua, yaitu Pangeran Mandalika, mengadakan huru‑hara di pelabuhan, sebagai unjuk rasa atas kekecewaan terhadap Mangkubumi yang baru itu. Pangeran Mandalika bersama adiknya, Pangeran Arya Ranamanggala, didukung oleh pangeran‑pangeran lainnya, mendirikan benteng pertahanan di luar kota.

Melihat situasi seperti itu, Mangkubumi merninta bantuan Pangeran Jayakarta untuk menghentikan aksi Pangeran Mandalika. Didukung pula oleh pihak Inggris, akhimya pasukan Pangeran Mandalika tersingkir. Huru‑hara untuk sementara dapat diredam. Akan tetapi, situasi di Kesultanan Surasowan Banten tidak semakin membaik. Bahkan, pada bulan juli 1608, terjadi kembali huru‑hara besar. Peristiwa tersebut, terkenal dengan sebutan Peristiwa Pailir. Pada tanggal 23 Oktober 1608, Mangkubumi terbunuh. Akhirnya, tugas perwalian Kesultanan dan jabatan Mangkubumi, dipegang oleh Pangeran Arya Ranamanggala. Langkah pertama Pangeran Arya Ranamanggala, menindak tegas pejabat kerajaan yang melakukan penyelewengan. Mangkubumi Ranamanggala berusaha keras, agar Sultan Abdulmafakhir, untuk sementara tidak mencampuri urusan pemerintahan. Demikianlah cara Pangeran Arya Ranamanggala, menyelamatkan Kesultanan Surasowan Banten dari bencana perpecahan dan kehancuran. Atas bantuan Kompeni lnggris East India Compagnie (EIC), pada tanggal 30 Mei 1619, Kompeni Belanda (VOC berhasil mengalahkan Jayakarta. Di sana mereka membangun sebuah benteng, yang diberi nama Batavia, sebagai peringatan terhadap nenek moyang bangsa Belanda, yaitu suku Bataav. Pada tanggal 13 Mei 1626, Pangeran Arya Ranamanggala meninggal dunia. Kekuasaan sepenuhnya, diserahkan kepada Sultan Abdulmafakhir. Sebagaimana ayah dan kakek buyutnya, Sultan Abdulmafakhir pun seorang ulama yang saleh. Dia banyak menyusun kitab‑kitab ilmu agama Islam, di antaranya Insan Kamil, yang kelak diambil oleh Dr. Snouck Hurgronje (Roesjan, dalam Michrob,1993:127).

Sultan Abdulmafakhir, adalah penguasa Kesultanan Surasowan Banten pertama yang dikukuhkan oleh Syekh Mekah, dan mendapat gelar Sultan Abdulmufakhir Mahmud Abdulkadir. .Gelar ini diperolehnya, ketika ia mengutus putera mahkota dan beberapa pembesar negara, menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah. Begitu juga dengan putera mahkotanya, mendapat gelar Sultan Abdulma'ali Ahmad. Oleh masyarakat Kesultanan Surasowan Banten, Sultan Abdulmafakhir mendapat sebutan Sultan Agung Kanari. Pemerintahan Sultan Abdulmafakhir, merupakan masa kemakmuran. bagi Kesultanan Surasowan Banten. Tidak hanya perdagangan internasionalnya saja yang semakin meningkat, akan tetapi, sektor pertanian dalam negeri juga mengalami kemajuan yang pesat. la seorang Sultan yang cepat tanggap, sering "terjun ke lapangan", menyaksikan sendiri apa yang diperlukan oleh rakyatnya. Dalam melaksanakan perniagaan antarbangsa, Sultan Abdulmafakhir, bersikap bebas. Pada tahun 1645, ia mencapai perjanjian perdagangan, dengan pimpinan Kompeni Belanda di Batavia. Kesepakatan perdagangan, tidak sedikitpun memberikan hak monopoli kepada Kompeni Belanda. Perjanjian itu, sepuluh tahun kemudian (1655) akan "diperbaharui". Pada tahun 1640, putera mahkota, Abdulma'ali, diangkat menjadi Sultan Anom. Akan tetapi, pada tahun 1650, ia meninggal dunia dalam usia muda. Dari permaisuri Ratu Martakusuma (puteri Pangeran Jayakarta), Sultan Anom Abdulrna'ali mempunyai anak, antara lain:
1.    Ratu Pembayun;
2.    Pangeran Surya;
3.    Pangeran Arya Kulon;
4.    Pangeran Lor; dan
5.    Pangeran Raja.

Selanjutnya, kedudukan Sultan Anom, diserahkan kepada Pangeran Surya.


SULTAN ABULFATH ABDULFATAH
Satu tahun setelah pengangkatan Pangeran Surya menjadi Sultan Anom (tahun 1651), penguasa Kesultanan Surasowan Banten, Sultan Abdulmafakhir Abdulkadir meninggal dunia. Tahta Kesultanan Surasowan Banten, dilanjutkan oleh cucunya, Pangeran Surya alias Pangeran Ratu. Pangeran Surya, melanjutkan hubungan internasional dengan dunia luar, terutama dengan kekhalifahan Islam yang berpusat di Mekah. Pangeran Surya mengutus beberapa pembesar kerajaan, untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah, sambil memberitakan pergantian pimpinan di Kesultanan Surasowan Banten dan dunia perdagangan di Nusantara. Sepulang dari Tanah Suci Mekah, delegasi Kesultanan Surasowan Banten, membawa gelar dari Syekh Mekah untuk Pangeran Surya atau Pangeran Ratu, dengan sebutan Sultan Abulfath Abdulfatah.

Dalam menjalankan roda pemerintahan sehari‑hari, Sultan Abdulfatah dibantu oleh saudara‑saudara dan kaum kerabatnya, sebagai pejabat tinggi negara. Antara lain, empat orang saudara kandungnya, yaitu :
1.    Pangeran Kilen;
2.    Ratu Kulon;
3.    Pangeran Lor; dan
4.    Pangeran Raja.
Serta empat orang saudara seayah, yaitu:
1.    Pangeran Wetan;
2.    Pangeran Kidul;
3.    Ratu Inten; dan
4.    Ratu Tinumpuk.
Sebagaimana kakeknya (Sultan Abdulmafakhir), Sultan Abdulfatah sangat besar perhatian terhadap kesejahteraan hidup rakyat, sehingga ia sering berkeliling ke daerah‑laerah, untuk melihat sendiri kehidupan penduduknya. Begitu juga dalam menghadapi pedagang asing, Sultan Abdulfatah bersikap sama dengan para pendahulunya, yang selalu tegas menolak setiap tuntutan monopoli. Meskipun Pelabuhan Banten terbuka bagi semua pedagang, dari manapun asalnya, akan tetapi kegiatan perdagangan harus dilakukan dengan jujur. Terhadap Kompeni Belanda, Sultan Abdulfatah bersikap tegas dan keras. Dengan berpegang pada "amanat" kakek dan ayahnya, bahwa "menyerang langsung sarang Kompeni Belanda ke Batavia, seperti yang pernah dilakukan oleh Mataram, merupakan pekerjaan yang sulit, bahkan kemungkinan besar akan gagal". Oleh karena itu, Sultan Abdulfatah menggariskan strategi: Menghancurkan Kompeni Belanda di luar sarangnya, baik orang-orangnya, maupun sandaran ekonominya :
1.    Kompeni Belanda, harus dipancing keluar dari sarangnya;
2.    Perkebunan tebu beserta kilang‑kilang penggilingannya harus dimusnahkan; dan
3.    Jalur angkutan laut, yang membawa keperluan Kompeni dari arah timur, harus dipotong.

Untuk memenuhi strategi itu, Sultan Abdulfatah membentuk kekuatan :
1.    Di laut, satuan‑satuan armada kecil; dan
2.    Di darat, satuan-satuan tempur yang terdiri dari berbagai suku bangsa, dilatih bergerak cepat sebagai "satuan mobil", tanpa basis yang tetap (gerilya).

Mengenai satuan tempur di darat, mengingatkan pada strategi yang pernah dilakukan oleh leluhurnya, Panembahan Hasanuddin, ketika merebut Wahanten Pasisir dan menyerang kota Pakuan Pajajaran. Pasukan "gerak cepat" itulah, yang ditakutkan oleh Kompeni Belanda. Pasukan gerak cepat Kesultanan Surasowan Banten, dalam satuan‑satuan kecil, beroperasi di belakang garis pertahanan Belanda, yaitu sebelah Timur Cisadane. Sebagai catatan, menurut perjanjian 1645, antara Kesultanan Surasowan Banten dengan Kompeni Belanda, disepakati bahwa batas wilayah kekuasaan, antara Kesultanan Surasowan Banten dengan Kompeni Belanda, adalah sungai Tangerang atau sungai Cisadane. Di wilayah perbatasan, pasukan gerak cepat Kesultanan Surasowan Banten, memusnahkan tanaman tebu, dan menghancurkan kilang penggilingan gula. Hal iru memaksa pihak Kompeni Belanda untuk mengadakan patroli terus menerus. Akan tetapi, setiap ada kesempatan, pasukan patroli Kompeni Belanda, disergap oleh pasukan gerak cepat Kesultanan Surasowan Banten. Demikian pula halnya di perairan Ciasem dan Karawang, kapal‑kapal pengangkut dari arah Timur, dihadang oleh armada kecil pasukan Banten. Tujuannya, supaya kapal‑kapal itu, tidak akan pernah sampai ke Batavia. Dari sistem strategi dan aksi‑aksi yang dilakukan, terlihat watak maritim Banten murni, yang dimiliki oleh Sultan Abdulfatah, yaitu: lincah dan tidak senang menunggu. Semua aksi‑aksinya, dilakukan dengan tujuan untuk bisa mencegah "pembaharuan perjanjian", yang tidak diinginkannya. Setidaknya, dapat menekan pihak Kompeni Belanda, agar bersikap "lebih lunak" dalam meja perundingan.

Kompeni Belanda, yang semula bersikap "tenang" menghadapi Sultan Abdulmafakhir, hingga "berhasil" mengadakan perjanjian 1645, kini "dipusingkan" oleh kelincahan dan ketegasan Sultan Abdulfatah. Padahal Kompeni Belanda berharap, dalam "pembaharuan perjanjian", pihaknya tidak akan mengalami hambatan dan kesulitan. Sultan Abdulfatah, telah memusnahkan segala harapan Kompeni Belanda, mengenai "keuntungan" dagangnya dari Kesultanan Surasowan Banten. Kompeni Belanda harus berhadapan dengan seorang penguasa Banten, yang tangguh dan berwibawa Sementara itu, pada tahun 1653, dalam tubuh Kompeni Belanda terjadi pergantian pimpinan. Johan Maetsuycker diangkat menjadi Gubernur Jenderal, menggantikan Carel Reynierszoon. Maetsuycker, adalah tenaga akhli dalam bidang hukum, yang membantu Dewan Hindia Belanda, sejak masa GJ. Anthony Van Diemen (1636 ‑1645). la terkenal cerdas, ulet, dan pandai bergaul. Sebagai ahli hukum, Maetsuycker sangat mentaati aturan-aturan, yang telah digariskan oleh atasannya di Netherland. "Statuten Van Batavia", yang memuat peraturan‑peraturan tentang tata tertib kehidupan di Batavia, adalah hasil dari buah tangannya. Para Direktur Kompeni di tanah airnya, sangat puas atas prestasi Maetsuycker, sehingga jabatan Gubernur Jenderal yang hanya berlaku 4 tahun, dipercayakan kepadanya sampai 7 kali (1653 ‑1678).

Maetsuycker tidak senang bertualang, selama 25 tahun menjadi Gubernur Jenderal, ia belum pernah meninggalkan Pelabuhan Batavia, kecuali untuk berburu di luar tembok kota. Untuk ukuran VOC yang bertugas di Nusantara, sikap Maetsuycker dinilai terlalu "halus" dan "hati‑hati". Akan tetapi, ia mempunyai dua orang kawan, yang sekaligus menjadi penasihatnya, yaitu: Rijcklof Volckertsz van Goens dan Cornelis Speelman. Keduanya adalah orang Kompeni "tulen", yang menjabat sebagai anggota Dewan Hindia. Menurut standar Jan Pieterszoon Coen, kedua penasihat Maetsuycker, telah memenuhi persyaratan, yaitu: mahir menjadi pedagang, merangkap Laksamana dan sekaligus Jenderal. Baik van Goens maupun Speelman, telah mengamati nasib "Imperium Portugis" di kawasan Asia, yang tidak bertahan lama, karena bersifat "imperium laut murni" (hanya menguasai pelabuhan‑pelabuhan penting). Menurut pandangan mereka, pelabuhan harus memiliki daerah pedalaman dan pinggiran yang luas, sebagai sumber pangan, sekaligus menjadi pelindung terhadap ancaman serbuan musuh dari darat. Mereka mendorong, agar Maetsuycker bertindak lebih berani dan "lebih keras". Untuk mencapai tujuannya, Maetsuycker, van Goens, dan Speelman, saling mengisi dalam watak dan pendapat. Trio itulah, yang harus dihadapi oleh Sultan Abdulfatah, selanu 30 tahun.
Kembali ke Kesultanan Surasowan Banten. Gangguan gerilya Kesultanan Banten, baik di darat maupun di laut, dijawab oleh Kompeni Belanda dengan memblokade Pelabuhan Banten. Terhadap tindakan itu, Sultan Abdulf'atah mengadakan tekanan balasan di sektor darat, dengan menarnbah kekuatan pasukan di daerah Angke Tangerang. Ancaman dari darat inilah, yang sangat ditakuti oleh Kompeni Belanda. Sebab di laut, Kompeni Belanda merasa lebih sanggup, mengunggudi armada Kesultanan Surasowan Banten.

Karena merasa lemah di sektor darat, Kompeni Belanda mencontoh strategi pasukan Kesultanan Surasowan Banten, derigan membentuk pasukan "pribumi", yang berdasarkan kelompok etluk. Untuk memenuhi keperluan tersebut, banyak "budak" yang dibebaskan atau ditebus oleh Kompeni, dengan catatan bersedia menjadi tentara Kompeni Belanda. Menjelang akhir masa perjanjian, Kompeni Belanda mengambil prakarsa, mengirim perunding untuk menghadap Sultan Abdulfatah, sambil membawa usul‑usul baru dari mereka. Dua kali Kompeni Belanda mengirimkan utusannya, dua kali pula Sultan Abdulfatah menolaknya. Sebab secara pribadi, Sultan Abdulfatah, tidak pernah mempercayai "niat baik" Kompeni Belanda. Sampai akhir tahun 1656, perundingan itu belum juga dapat dilaksanakan. Akan tetapi, sikap hati-hati yang dimiliki oleh Maetsuycker, membuat Kompeni Belanda "tetap bersabar". Padahal, van Goens dan Speelman, menginginkan Maetsuycker, agar ia bertindak lebih keras.

Pada tahun 1657, sikap "kehati‑hatian" Maetsuycker, hampir berhasil. Kesultanan Surasowan Banten, bersedia membuka jalur perundingan. Pertukaran nota, dilakukan sampai beberapa kali. Pada tanggal 29 April 1658, utusan Kompeni Belanda, membawa usul "perdamaian", sebanyak 10 pasal :
1.    Kedua belah pihak, harus mengembalikan tawanan perangnya masing‑masing.
2.    Banten harus membayar kerugian perang, berupa 500 ekor kerbau dan 1500 ekor sapi.
3.    Blokade Belanda atas Banten akan dihentikan, setelah Sultan Banten menyerahkan pampasan perang.
4.    Kantor perwakilan Belanda di Banten harus diperbaiki, atas biaya dari Banten.
5.    Sultan Banten harus menjamin keamanan dan kemerdekaan perwakilan Kompeni di Banten.
6.  Karena banyaknya barang‑barang Kompeni dicuri dan digelapkan oleh orang Banten, maka kapal‑kapal Kompeni yang datang di Banten dibebaskan dari pemeriksaan.
7.  Setiap orang Banten yang ada di Batavia, harus dikembalikan ke Banten, demikian juga sebaliknya
8.   Kapal‑kapal Kompeni yang datang ke Pelabuhan Banten, dibebaskan dari bea masuk dan bea keluar.
9.   Perbatasan Banten dan Batavia, ialah garis lurus dari Untung Jawa hingga ke pedalaman dan pegunungan.
10. Untuk menjaga hal‑hal yang tidak diingini, warga kedua belah pihak dilarang melewati batas daerahnya masing‑masing.
(Michrob,1993:137).

Dengan tegas, Sultan Abdufatah menolak usulan tersebut, yang dinilai sangat tidak adil. Sultan Abdulfatah menegaskan, bahwa jika Kompeni Belanda menuntut perlakuan istimewa dari Banten, maka sebagal imbalannya, pihak Kompeni Belanda pun harus memberikan perlakuan istimewa terhadap Kesultanan Surasowan Banten. Oleh karena itu, sebagai imbalan, Sultan Abdulfatah menuntut :
1.    Menuntut, agar orang Banten, secara bebas dapat membeli meriam, peluru dan mesiu di pelabuhan Batavia,
2.    Menuntut, agar orang Banten, diijinkan langsung membeli rempah-rempah dan timah dari daerah produsen.

Sultan Abdulfatah sangat faham, bahwa kedua tuntutan itu tidak akan diluluskan oleh Kompeni Belanda, karena :
1.   Tuntutan yang pertama, artinya sama dengan menyuruh Kompeni Belanda, agar "bunuh diri". Sebab, peralatan‑peralatan yang dimaksud, pasti digunakan untuk menghadapi Kompeni Belanda.
2.  Tuntutan yang kedua, merupakan pelanggaran terhadap hak monopoli Kompeni, yang telah diperolehnya, dengan mengorbankan jiwa dan biaya yang cukup banyak.

Seperti yang telah diduga sebelumnya, pihak Kompeni Belanda di Batavia menolak kedua usul Sultan Abdulfatah itu. Sebagai jawabannya, pada tanggal 11 Mei 1658, Sultan Abdulfatah membalasnya melalui surat, yang menyatakan bahwa "perundingan tidak mungkin dilalksanakan". Penolakan tersebut, berarti menyulut sumbu perang terbuka. Pasukan‑pasukan Kesultanan Surasowan Banten, sebelumnya sudah dipersiapkan dengan matang. Para komandan tempur dari berbagai tingkat, telah ditunjuk untuk menempati pos‑posnya masing masing.
1.    Arya Suryanata, di perairan Tangerang;
2.    Tumenggung Wirajurit, di perairan Karawang;
3.    Ratu Bagus Singandaru, di perairan Tanara;
4.    Ratu Bagus Wiranatapada, di perairan Pontang;
5.    Suranubaya, di perairan Labuhan Ratu; untuk mencegah pendaratan pasukan Kompeni Belanda di pantai Selatan.

Selain itu, sebuah satuan tempur darat, ditempatkan di pantai Caringin, perairan Selat Sunda, di bawah pimpinan Wirasaba dan Purwakarti. Pasukan tempur darat dengan kekuatan 5,000 orang, segera dikirimkan ke daerah perbatasan Angke Tangerang, di bawah komando Senapati Ingalaga (nama ini sebenarnya berarti: Panglima Perang). la didampingi oleh Rangga Wirapata sebagal Wakil Panglima, dan Haji Wangsareja sebagal Imam Pasukan. Dengan melalui jalan darat, selama 9 hari, pasukan tempur itu berangkat dari Ibukota Surasowan ke daerah Angke‑Tangerang. Sedangkan satuan Artileri Banten, khusus ditugaskan melindungi ibukota Surasowan, dengan kekuatan 60 meriam. Sepuluh di antaranya, jenis canon (meriam besar), yang masing-masing diberi nama. Di antara meriam‑meriam itu: Si Jaka Pekik, Si Muntab dan Si Kalantaka, yang terkenal paling ampuh dan paling banyak mengenai sasaran. Pertahanan ibukota, dipusatkan di sekitar pelabuhan, untuk menjaga serangan dari laut. Hal ini dilakukan, karena dalam rangka blokadenya, Kompeni Belanda menempatkan satuan armada, yang terdiri dari 11 kapal di kawasan Teluk Banten. Kapal‑kapal milik Kompeni Belanda itu, selalu "berkeliaran", di sekitar Pulodua dan Pulolima. Oleh karena itu, Sultan Abdulfatah memerintahkan, agar semua moncong meriam diarahkm ke pantai Teluk Banten.

Ketika Kompeni Belanda menyerang Surasowan dari taut, berhasil digagalkan oleh pasukan tempur Kesultanan Surasowan Banten, setelah melalui pertempuran sengit artileri sehari penuh. Kapal-kapal Kompeni Belanda, mulai memuntahkah tembakan salvo. Akan tetapi, balasan dari pasukan ardleri Banten, yang menyebar di sekitar pelabuhan, tidak memberi peluang kepada kapal‑kapal Kompeni Belanda untuk mendekati garis pantai. Pertempuran sengit itu, berlangsung sampai senja hari. Sebelum malam tiba, armada Kompeni Belanda, mundur dari garis pantai pertahanan pasukan Kesultanan Banten, menuju ke laut lepas. Pasukan‑pasukan itu tidak kembali lagi, selama perang antara Kesultanan Surawowan Banten dengan Kompeni Belanda, yang berlangsung hampir satu tahun lamanya. Sementara itu, di garis depan Angke‑Tangerang, terjadi stagnasi. Pertempuran yang sudah berlangsung hampir satu tahun, belum ada pihak yang mendahului maju atau mundur. Padahal, dari kedua belah pihak, telah banyak korban yang jatuh. Melihat kenyataan ini, Sultan Abdulfatah mengambil keputusan, untuk mengadakan penyegaran pasukan.

Pimpinan baru, Arya Mangunjaya dan Arya Wiratmaja, ditunjuk untuk mengganti Senapati Ingalaga dan Rangga Wirapata. Kemudian Sayid Ali, ditunjuk menggantikan kedudukan Haji Wangsareja. Mereka dibekali pasukan baru, untuk menggantikan sebagian pasukan lama, yang sudah memerlukan istirahat. Strategi militer Sultan Abdulfatah ini, dipandang sebagai ancaman baru, oleh Kompeni Belanda. Sebab, dengan kekurangan tenaga cadangan dan sulit mengganti maupun menambah pasukan, Kompeni Belanda hanya mampu bertahan. Di Batavia, Gubemur Jenderal bersama 9 orang anggota Dewan Hindia, mengambil keputusan untuk mengajukan usul perdamaian kepada Sultan Banten, melalui jasa baik Sultan Jambi sebagai perantara. Akhirnya, pada tanggal 10 Juli 1659, di bawah pimpinan Kiai Demang Dirade Wangsa dan Kiai Ingali Marta Sidana, bertindak atas nama Sultan Jambi. Perundingan berlangsung di Batavia. Sultan Abdulfatah sendiri hadir, untuk menghadapi Gubernur Jenderal Maetsuycker. Sultan Abdulfatah, menyetujui dan menandatangani perjanjian "perdamaian” itu, karena pihak Kompeni Belanda, tidak menuntut hak monopoli. Oleh karena itu, Kesultanan Surasowan Banten pun menarik kembali tuntutannya, tentang hak membeli senjata dari Batavia, dan hak memperoleh rempah‑rempah (pala dan cengkeh) serta timah secara langsung dari produsen. Kompeni Belanda, diperlakukan sama dengan kongsi‑kongsi dagang lainnya, dan Kesultanan Surasowan Banten, tetap harus membeli bahan rempah‑rempah dan timah, dari pasar Batavia.

Sebetulnya, titik berat dari perjanjian itu, adalah: pengukuhan garis perbatasan, sepanjang sungai Cisadane. Setiap pelanggar batas dari kedua belah pihak, tanpa alasan yang sah, akan ditangkap. Bagi orang Kompeni Belanda, yang membelot ke Kesultanan Surasowan Banten, kemudian memeluk agama Islam, dalam jangka waktu tiga bulan sebelum perjanjian ditandatangani, harus dikembalikan ke Batavia. Sebagai catatan, Sultan Abdulfatah sangat menghargai orang asing, terutama bagi yang memiliki keterampilan di bidang teknologi. Sultan Abdulfatah akan menawarkan pekerjaan, dengan bayaran tinggi. Kemudian, bila teknisi yang bersangkutan bersedia masuk Islam, Sultan Abdulfatah akan memberi jabatan resmi kepadanya. Bahkan bila dianggap layak, akan diberi gelar kebangsawanan. Kemudian, Kesultanan Surasowan Banten harus membayar harga ternak, yang telah dirampas oleh pasukan gerilya Banten, dari para kawula Kompeni Belanda di sekitar Batavia. Kelak terbukti, bahwa para gerilyawan Banten, mengalihkan operasi "penyergapan ternak", ke daerah pedalaman Gileungsi dan Cianjur.

Sedangkan konsesi bagi Kompeni Belanda, adalah kantor perwakilannya di ibukota Surasowan Banten, tetap diperbolehkan dibuka. Bahkan, biaya pemeliharaan kantor tersebut, menjadi tanggungan pemerintah Kesultanan Banten. Strategi Sultan Abdulfatah ini, bertujuan agar dapat mengawasi kegiatan Kompeni Belanda secara lebih ketat. Sebab, kantor perwakilan Kompeni Belanda di ibukota Surasowan Banten, sekaligus berfungsi sebagai "sarang mata‑mata".
Adapun keringanan lain yang diperoleh oleh Komperri Belanda, antara lain sebagai berikut :
1.  Bila kapal Kompeni yang masuk pelabuhan Banten, atas permintaan kepala perwakilannya, atau terpaksa singgah karena memerlukan air, tidak dikenakan bea pelabuhan.
2.  Bila dalam kapal Kompeni itu, ada barang yang dianggap terlarang, petugas pemeriksa dari pihak Banten, dapat menyitanya. Kemudian barang tersebut dikirimkan ke Jakarta.

Di balik masa jeda "gencatan senjata" itu, sesungguhnya kedua belah pihak "memerlukan istirahat". Perang selama 11 bulan dengan keadaan "seimbang", telah ikut memperlancar tercapainya perdamaian, antara Kompeni Belanda dengan Kesultanan Surasowan Banten.

Leave a Reply

Berkomentarlah dengan baik, sopan dan bijak,.!! Terima kasih,.-