PENYELAMAT TAHTA
Di bawah pemerintahan Panembahan Yusuf, Kesultanan Surasowan
Wahanten (Banten), semakin berkembang pesat, terutama dalam hal pembangunan
kota, pengembangan areal pertanian, niaga maritim, keamanan dan perluasan daerah
kekuasaan. Sejak direbutnya Pakuan (ibukota Kerajaan Sunda Pajajaran) pada tahun
1579, wilayah tersebut sudah menjadi bagian dari Kesultanan Surasowan Banten.
Panembahan Yusuf, berhasil menjadi pewaris sekaligus penerus tahta Kerajaan
Sunda Pajajaran. Dari permaisuri Ratu Hadijah, Maulana Yusuf mempunyai dua orang
putera, antara lain:
1. Rata Winahon; dan
2. Pangeran Muhammad.
Ketika Maulana Yusuf sakit keras, Pangeran Arya bersama pasukan
pengawalnya, di bawah pimpinan Ki Demang Laksamana, sudah berada di Kesultanan
Surasowan Banten. Pangeran Arya, adalah putera Maulana Hasanuddin dari isterinya
yang kedua, Ratu Ayu Kirana (puteri Raden Patah). Sejak kecil, Pangeran Arya
dijadikan anak angkat oleh Ratu Kalinyamat (adik Ratu Ayu Kirana), tinggal di
keraton Japara. Oleh karena itu, ia dikenal juga dengan sebutan, Pangeran
Japara. Pada tahun 1580, Maulana Yusuf meninggal dunia. Ketika itu, putera
mahkota Pangeran Muhammad, baru berusia 9 tahun. Melihat kenyataan seperti itu,
beberapa pembesar kerajaan (termasuk Mangkubumi Jayanagara), berniat menyerahkan
tahta Kesultanan Surasowan, kepada Pangeran Japara. Akan tetapi, Panghulu Negara
(Kadhi), melindungi dan mempertahankan Pangeran Muhammad, sebagai penerus tahta
Kesultanan Surasowan Banten, sesuai dengan amanat Panembahan Yusuf. Alangkah kecewanya Pangeran Japara. Konflik tidak dapat dihindari
lagi. Maka terjadilah pertempuran sengit di luar benteng istana Surasowan.
Pangeran Japara bersama pasukannya, terdesak oleh pasukan Surasowan Banten.
Dalam pertempuran itu, Ki Demang Laksamana tewas di tangan Mangkubumi
Jayanagara, yang akhirnya ikut melindungi din mempertahankan Pangeran Muhammad.
Ambisi Pangeran Japara untuk merebut tahta Kesultanan Surasowan, tidak tercapai,
dan akhirnya diusir dari Banten.
Setelah persitiwa itu, Maulana Muhammad dinobatkan menjadi Sultan
Surasowan Banten yang ketiga. la lebih dikenal dengan sebutan Kanjeng Ratu
Banten. Untuk menjalankan pemerintahan sehari‑hari, Mangkubumi Jayanagara,
bertindak sebagai walinya. Seperti halnya ayah dan kakeknya, Maulana Muhammad pun terkenal
sebagai Sultan Banten yang saleh. la banyak menyusun kitab‑kitab hukum Islam dan
mendirikan masjid, hingga ke pelosok-pelosok desa. Masjid Agung yang terletak di
tepi alun‑alum diperindah, temboknya dilapisi porselen, dan tiangnya dibuat dari
kayu cendana (Michrob,1993: 89). Pada tanggal 2 April 1595 berlayarlah empat buah armada dagang
Belanda milik "Compagnie van Verre'; di bawah pimpinan Cornelis de
Houtman dan Pieter de Keyser. Bersama 249 pasukannya, mereka berangkat dari
pangkalan Tessel, di bagian utara Kerajaan Belanda. Rupa‑rupanya, mereka telah
mencium wangi rempah‑rempah Nusantara, dari berita pedagang Portugis. Melalui
Tanjung Harapan, pada tanggal 22 Juni 1596, mereka berlabuh di pesisir
Kesultanan Surasowan Banten. Dalam pelayarannya, disertai juru tulis Willem Lodewycksz, sebagai
pencatat perjalanan. la melukiskan keadaan perdagangan di Kesultanan Surasowan
Banten, antara lain sebagai berikut :
Di sebelah timur kota, yaitu daerah Karangantu, terdapat sebuah
pasar yang pagi maupun siang terdapat pedagang‑pedagang dari Portugis, Arab,
Turki, Cina, Keling, Pegu, Malaya, Bengali, Gujarat, Malabar, dan Abesinia. Juga
terdapat pedagang‑pedagang dan Nusantara, seperti dari Bugis, Jawa, dan
lain‑lain. Pasar kedua terletak di Paseban, yang memperdagangkan keperluan
sehari‑hari. Dan pasar yang ketiga, terletak di Pacinan, yang dibuka sebelum dan
sesudah pasar‑pasar lain tutup. Barang‑barang yang diperdagangkan di pasar
ketiga ini bermacam ragam, mulai dari kain sutra dari Cina dan Gujarat sampai sisir dan kipas. Diceritakan pula, bahwa
barang‑barang tekstil dari Gujarat ini 20
jenis. Transaksi perdagangan di pasar ini berjalan mudah, karena mata uang dan
pertukaran mata uang (money changer) sudah dikenal (Michrob,1993:
89).
Sikap Cornelis de Houtman, yang kasar dan tidak bijaksana, membuat
kunjungannya di Banten (22 Juni 3 Juli 1596), tidak menghasilkan apa‑apa.
Bahkan, karena kecongkakannya, ia sempat ditahan oleh Penguasa Surasowan Banten.
Armada dagang yang dipimpinnya, diusir dan pelabuhan Kesultanan Surasowan
Banten. Setelah terusir dari negeri Surasowan Banten, Cornelis de Houtman
bersama pasukannya, melanjutnya perjalanan ke Jayakarta. Mereka tiba di
sana , pada
tanggal 13 November 1596. Kemudian, ia melanjutkan perjalanan, menuju negeri
Aceh Darusalam (1599). Karena sikap congkaknya, di negeri rencong itu, ia tewas
terbunuh. Sementara itu, penguasa Kesultanan Surasowan Banten Maulana
Muhammad, pada tahun 1596 melancarkan aksi penyerangan ke Palembang . Peristiwa ini
berawal dari hasutan Pangeran Mas, putera Aria Pangiri, cucu Sunan Prawoto
Demak, yang ingin menguasai penguasa di Palembang. Menurut catatan Hoesein Djajadiningrat dan Hamka yang dikutip oleh
Halwany Michrob, penyerangan Sultan Maulana Muhammad ke Palembang, menggunakan
kapal perang Kesultanan Surasowan Banten. la memimpin langsung pasukannya,
didampingi Mangkubumi dan Pangeran Mas.
Pertempuran sengit, berlangsung di sekitar Sungai Musi, hampir
memukul mundur pasukan Palembang . Akan tetapi, Sultan Maulana Muhammad
tertembak dan gugur di atas kapal Indrajaladri. Akhirnya, armada Kesultanan
Surasowan Banten, ditarik mundur. Sultan Maulana Muhammad meninggal dalam usia
25 tahun. Dari permaisuri Ratu Wanagiri (puteri Mangkubumi Jayanagara), Sultan
Maulana Muhammad, berputera Abdulmafakhir, yang baru berusia 9 bulan. Akhirnya
Abdulmafakhir diangkat sebagai pengganti ayahnya, melanjutkan tahta Kesultanan
Surasowan Banten. Sultan yang masih bayi itu, didampingi oleh kakeknya,
Mangkubumi Jayanagara, sebagai Wali Kesultanan. Akan tetapi, pada tahun 1602,
Mangkubumi Jayanagara meninggal dunia.
Selanjutnya, jabatan Wali Kerajaan, diserahkan kepada adiknya
Mangkubumi Jayanagara. Kedudukan Mangkubumi yang baru ini tidak berlangsung
lama. Sebab, sikap dan tindakannya tidak sesuai dengan jabatannya. Akhirnya,
pada tanggal 17 Nopember 1602, ia diturunkan dari jabatannya.
Perwalian, terpaksa dipegang langsung oleh ibunda Sultan, Ratu
Wanagiri. Akan tetapi Ratu Wanagiri yang berstatus janda, menikah lagi dengan
seorang bangsawan keraton. Suaminya diangkat menjadi Mangkubumi. Sementara itu, pada tahun yang sama (1602), di Belanda terjadi
peristiwa penting. Sejak pelabuhan‑pelabuhan di Nusantara ramai oleh kapal‑kapal
dagang dari Eropa, terjadi persaingan ketat perdagangan memperebutkan
rempah‑rempah dari negeri timur, yang ternyata merugikan perdagangan Belanda.
Melihat kondisi seperti ini, Kerajaan Belanda membentuk Vereenigde Oost
Indische Campagnie (VOC). Kongsi dagang tersebut, oleh penduduk Nusantara,
dikenal sebagai Kompeni atau Kumpeni. Sementara itu, di kalangan Keraton Surasowan Banten, sikap
Mangkubumi sangat mengecewakan. la terlalu sibuk dengan urusan pribadi, yang
mengabaikan kepentingan negara dan rakyat, menimbulkan rasa ketidakpuasan para
pembesar kerajaan. Rasa ketidakpuasan itu, mencapai puncaknya, pada tahun 1604.
Putera Maulana Yusuf dari isteri kedua, yaitu Pangeran Mandalika, mengadakan
huru‑hara di pelabuhan, sebagai unjuk rasa atas kekecewaan terhadap Mangkubumi
yang baru itu. Pangeran Mandalika bersama adiknya, Pangeran Arya Ranamanggala,
didukung oleh pangeran‑pangeran lainnya, mendirikan benteng pertahanan di luar
kota .
Melihat situasi seperti itu, Mangkubumi merninta bantuan Pangeran
Jayakarta untuk menghentikan aksi Pangeran Mandalika. Didukung pula oleh pihak
Inggris, akhimya pasukan Pangeran Mandalika tersingkir. Huru‑hara untuk sementara dapat diredam. Akan tetapi, situasi di
Kesultanan Surasowan Banten tidak semakin membaik. Bahkan, pada bulan juli 1608,
terjadi kembali huru‑hara besar. Peristiwa tersebut, terkenal dengan sebutan
Peristiwa Pailir. Pada tanggal 23 Oktober 1608, Mangkubumi terbunuh.
Akhirnya, tugas perwalian Kesultanan dan jabatan Mangkubumi, dipegang oleh
Pangeran Arya Ranamanggala. Langkah pertama Pangeran Arya Ranamanggala, menindak tegas pejabat
kerajaan yang melakukan penyelewengan. Mangkubumi Ranamanggala berusaha keras,
agar Sultan Abdulmafakhir, untuk sementara tidak mencampuri urusan pemerintahan.
Demikianlah cara Pangeran Arya Ranamanggala, menyelamatkan Kesultanan Surasowan
Banten dari bencana perpecahan dan kehancuran. Atas bantuan Kompeni lnggris East India Compagnie (EIC), pada
tanggal 30 Mei 1619, Kompeni Belanda (VOC berhasil mengalahkan Jayakarta. Di
sana mereka membangun sebuah benteng, yang diberi
nama Batavia ,
sebagai peringatan terhadap nenek moyang bangsa Belanda, yaitu suku
Bataav. Pada tanggal 13 Mei 1626, Pangeran Arya Ranamanggala meninggal
dunia. Kekuasaan sepenuhnya, diserahkan kepada Sultan Abdulmafakhir. Sebagaimana
ayah dan kakek buyutnya, Sultan Abdulmafakhir pun seorang ulama yang saleh. Dia
banyak menyusun kitab‑kitab ilmu agama Islam, di antaranya Insan Kamil,
yang kelak diambil oleh Dr. Snouck Hurgronje (Roesjan, dalam
Michrob,1993:127).
Sultan Abdulmafakhir, adalah penguasa Kesultanan Surasowan Banten
pertama yang dikukuhkan oleh Syekh Mekah, dan mendapat gelar Sultan
Abdulmufakhir Mahmud Abdulkadir. .Gelar ini diperolehnya, ketika ia mengutus
putera mahkota dan beberapa pembesar negara, menunaikan ibadah haji ke Tanah
Suci Mekah. Begitu juga dengan putera mahkotanya, mendapat gelar Sultan
Abdulma'ali Ahmad. Oleh masyarakat Kesultanan Surasowan Banten, Sultan
Abdulmafakhir mendapat sebutan Sultan Agung Kanari. Pemerintahan Sultan Abdulmafakhir, merupakan masa kemakmuran. bagi
Kesultanan Surasowan Banten. Tidak hanya perdagangan internasionalnya saja yang
semakin meningkat, akan tetapi, sektor pertanian dalam negeri juga mengalami
kemajuan yang pesat. la seorang Sultan yang cepat tanggap, sering "terjun ke
lapangan", menyaksikan sendiri apa yang diperlukan oleh rakyatnya. Dalam melaksanakan perniagaan antarbangsa, Sultan Abdulmafakhir,
bersikap bebas. Pada tahun 1645, ia mencapai perjanjian perdagangan, dengan
pimpinan Kompeni Belanda di Batavia. Kesepakatan perdagangan, tidak sedikitpun
memberikan hak monopoli kepada Kompeni Belanda. Perjanjian itu, sepuluh tahun
kemudian (1655) akan "diperbaharui". Pada tahun 1640, putera mahkota, Abdulma'ali, diangkat menjadi
Sultan Anom. Akan tetapi, pada tahun 1650, ia meninggal dunia dalam usia muda.
Dari permaisuri Ratu Martakusuma (puteri Pangeran Jayakarta), Sultan Anom
Abdulrna'ali mempunyai anak, antara lain:
1. Ratu Pembayun;
2. Pangeran Surya;
3. Pangeran Arya Kulon;
4. Pangeran Lor; dan
5. Pangeran Raja.
Selanjutnya, kedudukan Sultan Anom, diserahkan kepada Pangeran
Surya.
SULTAN ABULFATH ABDULFATAH
Satu tahun setelah pengangkatan Pangeran Surya menjadi Sultan Anom
(tahun 1651), penguasa Kesultanan Surasowan Banten, Sultan Abdulmafakhir
Abdulkadir meninggal dunia. Tahta Kesultanan Surasowan Banten, dilanjutkan oleh
cucunya, Pangeran Surya alias Pangeran Ratu. Pangeran Surya, melanjutkan hubungan internasional dengan dunia
luar, terutama dengan kekhalifahan Islam yang berpusat di Mekah. Pangeran Surya
mengutus beberapa pembesar kerajaan, untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah,
sambil memberitakan pergantian pimpinan di Kesultanan Surasowan Banten dan dunia
perdagangan di Nusantara. Sepulang dari Tanah Suci Mekah, delegasi Kesultanan
Surasowan Banten, membawa gelar dari Syekh Mekah untuk Pangeran Surya atau
Pangeran Ratu, dengan sebutan Sultan Abulfath Abdulfatah.
Dalam menjalankan roda pemerintahan sehari‑hari, Sultan Abdulfatah
dibantu oleh saudara‑saudara dan kaum kerabatnya, sebagai pejabat tinggi negara.
Antara lain, empat orang saudara kandungnya, yaitu :
1. Pangeran Kilen;
2. Ratu Kulon;
3. Pangeran Lor; dan
4. Pangeran Raja.
Serta empat orang saudara seayah, yaitu:
1. Pangeran Wetan;
2. Pangeran Kidul;
3. Ratu Inten; dan
4. Ratu Tinumpuk.
Sebagaimana kakeknya (Sultan Abdulmafakhir), Sultan Abdulfatah
sangat besar perhatian terhadap kesejahteraan hidup rakyat, sehingga ia sering
berkeliling ke daerah‑laerah, untuk melihat sendiri kehidupan penduduknya.
Begitu juga dalam menghadapi pedagang asing, Sultan Abdulfatah bersikap sama
dengan para pendahulunya, yang selalu tegas menolak setiap tuntutan monopoli.
Meskipun Pelabuhan Banten terbuka bagi semua pedagang, dari manapun asalnya,
akan tetapi kegiatan perdagangan harus dilakukan dengan jujur. Terhadap Kompeni Belanda, Sultan Abdulfatah bersikap tegas dan
keras. Dengan berpegang pada "amanat" kakek dan ayahnya, bahwa "menyerang
langsung sarang Kompeni Belanda ke Batavia , seperti yang pernah dilakukan oleh
Mataram, merupakan pekerjaan yang sulit, bahkan kemungkinan besar akan gagal".
Oleh karena itu, Sultan Abdulfatah menggariskan strategi: Menghancurkan Kompeni
Belanda di luar sarangnya, baik orang-orangnya, maupun sandaran ekonominya :
1. Kompeni Belanda,
harus dipancing keluar dari sarangnya;
2. Perkebunan tebu
beserta kilang‑kilang penggilingannya harus dimusnahkan; dan
3. Jalur angkutan laut,
yang membawa keperluan Kompeni dari arah timur, harus dipotong.
Untuk memenuhi strategi itu, Sultan Abdulfatah membentuk
kekuatan :
1. Di laut, satuan‑satuan armada kecil; dan
2. Di darat, satuan-satuan tempur yang terdiri
dari berbagai suku bangsa, dilatih bergerak cepat sebagai "satuan mobil", tanpa
basis yang tetap (gerilya).
Mengenai satuan tempur di darat, mengingatkan pada strategi yang
pernah dilakukan oleh leluhurnya, Panembahan Hasanuddin, ketika merebut Wahanten
Pasisir dan menyerang kota Pakuan Pajajaran. Pasukan "gerak cepat"
itulah, yang ditakutkan oleh Kompeni Belanda. Pasukan gerak cepat Kesultanan
Surasowan Banten, dalam satuan‑satuan kecil, beroperasi di belakang garis
pertahanan Belanda, yaitu sebelah Timur Cisadane. Sebagai catatan, menurut
perjanjian 1645, antara Kesultanan Surasowan Banten dengan Kompeni Belanda,
disepakati bahwa batas wilayah kekuasaan, antara Kesultanan Surasowan Banten
dengan Kompeni Belanda, adalah sungai Tangerang atau sungai Cisadane. Di wilayah perbatasan, pasukan gerak cepat Kesultanan Surasowan
Banten, memusnahkan tanaman tebu, dan menghancurkan kilang penggilingan gula.
Hal iru memaksa pihak Kompeni Belanda untuk mengadakan patroli terus menerus.
Akan tetapi, setiap ada kesempatan, pasukan patroli Kompeni Belanda, disergap
oleh pasukan gerak cepat Kesultanan Surasowan Banten. Demikian pula halnya di
perairan Ciasem dan Karawang, kapal‑kapal pengangkut dari arah Timur, dihadang
oleh armada kecil pasukan Banten. Tujuannya, supaya kapal‑kapal itu, tidak akan
pernah sampai ke Batavia . Dari sistem strategi dan aksi‑aksi yang dilakukan, terlihat watak
maritim Banten murni, yang dimiliki oleh Sultan Abdulfatah, yaitu: lincah dan
tidak senang menunggu. Semua aksi‑aksinya, dilakukan dengan tujuan untuk bisa
mencegah "pembaharuan perjanjian", yang tidak diinginkannya. Setidaknya, dapat
menekan pihak Kompeni Belanda, agar bersikap "lebih lunak" dalam meja
perundingan.
Kompeni Belanda, yang semula bersikap "tenang" menghadapi Sultan
Abdulmafakhir, hingga "berhasil" mengadakan perjanjian 1645, kini "dipusingkan"
oleh kelincahan dan ketegasan Sultan Abdulfatah. Padahal Kompeni Belanda
berharap, dalam "pembaharuan perjanjian", pihaknya tidak akan mengalami hambatan
dan kesulitan. Sultan Abdulfatah, telah memusnahkan segala harapan Kompeni Belanda,
mengenai "keuntungan" dagangnya dari Kesultanan Surasowan Banten. Kompeni
Belanda harus berhadapan dengan seorang penguasa Banten, yang tangguh dan
berwibawa Sementara itu, pada tahun 1653, dalam tubuh Kompeni Belanda terjadi
pergantian pimpinan. Johan Maetsuycker diangkat menjadi Gubernur Jenderal,
menggantikan Carel Reynierszoon. Maetsuycker, adalah tenaga akhli dalam bidang
hukum, yang membantu Dewan Hindia Belanda, sejak masa GJ. Anthony Van Diemen
(1636 ‑1645). la terkenal cerdas, ulet, dan pandai bergaul. Sebagai ahli hukum, Maetsuycker sangat mentaati aturan-aturan, yang
telah digariskan oleh atasannya di Netherland. "Statuten Van Batavia", yang
memuat peraturan‑peraturan tentang tata tertib kehidupan di Batavia , adalah hasil dari
buah tangannya. Para Direktur Kompeni di tanah airnya, sangat puas atas prestasi
Maetsuycker, sehingga jabatan Gubernur Jenderal yang hanya berlaku 4 tahun,
dipercayakan kepadanya sampai 7 kali (1653 ‑1678).
Maetsuycker tidak senang bertualang, selama 25 tahun menjadi
Gubernur Jenderal, ia belum pernah meninggalkan Pelabuhan Batavia, kecuali untuk
berburu di luar tembok kota. Untuk ukuran VOC yang bertugas di Nusantara, sikap
Maetsuycker dinilai terlalu "halus" dan "hati‑hati". Akan tetapi, ia mempunyai
dua orang kawan, yang sekaligus menjadi penasihatnya, yaitu: Rijcklof Volckertsz
van Goens dan Cornelis Speelman. Keduanya adalah orang Kompeni "tulen", yang
menjabat sebagai anggota Dewan Hindia. Menurut standar Jan Pieterszoon Coen,
kedua penasihat Maetsuycker, telah memenuhi persyaratan, yaitu: mahir menjadi
pedagang, merangkap Laksamana dan sekaligus Jenderal. Baik van Goens maupun Speelman, telah mengamati nasib "Imperium
Portugis" di kawasan Asia, yang tidak bertahan lama, karena bersifat "imperium
laut murni" (hanya menguasai pelabuhan‑pelabuhan penting). Menurut pandangan
mereka, pelabuhan harus memiliki daerah pedalaman dan pinggiran yang luas,
sebagai sumber pangan, sekaligus menjadi pelindung terhadap ancaman serbuan
musuh dari darat. Mereka mendorong, agar Maetsuycker bertindak lebih berani dan
"lebih keras". Untuk mencapai tujuannya, Maetsuycker, van Goens, dan Speelman,
saling mengisi dalam watak dan pendapat. Trio itulah, yang harus dihadapi oleh
Sultan Abdulfatah, selanu 30 tahun.
Kembali ke Kesultanan Surasowan Banten. Gangguan gerilya Kesultanan
Banten, baik di darat maupun di laut, dijawab oleh Kompeni Belanda dengan
memblokade Pelabuhan Banten. Terhadap tindakan itu, Sultan Abdulf'atah
mengadakan tekanan balasan di sektor darat, dengan menarnbah kekuatan pasukan di
daerah Angke Tangerang. Ancaman dari darat inilah, yang sangat ditakuti oleh
Kompeni Belanda. Sebab di laut, Kompeni Belanda merasa lebih sanggup,
mengunggudi armada Kesultanan Surasowan Banten.
Karena merasa lemah di sektor darat, Kompeni Belanda mencontoh
strategi pasukan Kesultanan Surasowan Banten, derigan membentuk pasukan
"pribumi", yang berdasarkan kelompok etluk. Untuk memenuhi keperluan tersebut,
banyak "budak" yang dibebaskan atau ditebus oleh Kompeni, dengan catatan
bersedia menjadi tentara Kompeni Belanda. Menjelang akhir masa perjanjian, Kompeni Belanda mengambil prakarsa,
mengirim perunding untuk menghadap Sultan Abdulfatah, sambil membawa usul‑usul
baru dari mereka. Dua kali Kompeni Belanda mengirimkan utusannya, dua kali pula
Sultan Abdulfatah menolaknya. Sebab secara pribadi, Sultan Abdulfatah, tidak
pernah mempercayai "niat baik" Kompeni Belanda. Sampai akhir tahun 1656,
perundingan itu belum juga dapat dilaksanakan. Akan tetapi, sikap hati-hati yang
dimiliki oleh Maetsuycker, membuat Kompeni Belanda "tetap bersabar". Padahal,
van Goens dan Speelman, menginginkan Maetsuycker, agar ia bertindak lebih
keras.
Pada tahun 1657, sikap "kehati‑hatian" Maetsuycker, hampir berhasil.
Kesultanan Surasowan Banten, bersedia membuka jalur perundingan. Pertukaran
nota, dilakukan sampai beberapa kali. Pada tanggal 29 April 1658, utusan Kompeni
Belanda, membawa usul "perdamaian", sebanyak 10 pasal :
1. Kedua belah pihak,
harus mengembalikan tawanan perangnya masing‑masing.
2. Banten harus membayar
kerugian perang, berupa 500 ekor kerbau dan 1500 ekor sapi.
3. Blokade Belanda atas
Banten akan dihentikan, setelah Sultan Banten menyerahkan pampasan perang.
4. Kantor perwakilan
Belanda di Banten harus diperbaiki, atas biaya dari Banten.
5. Sultan Banten harus
menjamin keamanan dan kemerdekaan perwakilan Kompeni di Banten.
6. Karena banyaknya barang‑barang Kompeni
dicuri dan digelapkan oleh orang Banten, maka kapal‑kapal Kompeni yang datang di
Banten dibebaskan dari pemeriksaan.
7. Setiap orang Banten
yang ada di Batavia , harus dikembalikan ke Banten, demikian
juga sebaliknya
8. Kapal‑kapal Kompeni
yang datang ke Pelabuhan Banten, dibebaskan dari bea masuk dan bea keluar.
9. Perbatasan Banten dan
Batavia , ialah
garis lurus dari Untung Jawa hingga ke pedalaman dan pegunungan.
10. Untuk menjaga hal‑hal yang tidak diingini, warga
kedua belah pihak dilarang melewati batas daerahnya masing‑masing.
(Michrob,1993:137).
Dengan tegas, Sultan Abdufatah menolak usulan tersebut, yang dinilai
sangat tidak adil. Sultan Abdulfatah menegaskan, bahwa jika Kompeni Belanda
menuntut perlakuan istimewa dari Banten, maka sebagal imbalannya, pihak Kompeni
Belanda pun harus memberikan perlakuan istimewa terhadap Kesultanan Surasowan
Banten. Oleh karena itu, sebagai imbalan, Sultan Abdulfatah menuntut :
1. Menuntut, agar orang
Banten, secara bebas dapat membeli meriam, peluru dan mesiu di pelabuhan
Batavia ,
2. Menuntut, agar orang
Banten, diijinkan langsung membeli rempah-rempah dan timah dari daerah
produsen.
Sultan Abdulfatah sangat faham, bahwa kedua tuntutan itu tidak akan
diluluskan oleh Kompeni Belanda, karena :
1. Tuntutan yang pertama, artinya sama dengan
menyuruh Kompeni Belanda, agar "bunuh diri". Sebab, peralatan‑peralatan yang
dimaksud, pasti digunakan untuk menghadapi Kompeni Belanda.
2. Tuntutan yang kedua, merupakan pelanggaran
terhadap hak monopoli Kompeni, yang telah diperolehnya, dengan mengorbankan jiwa
dan biaya yang cukup banyak.
Seperti yang telah diduga sebelumnya, pihak Kompeni Belanda di
Batavia menolak kedua usul Sultan Abdulfatah itu. Sebagai jawabannya, pada
tanggal 11 Mei 1658, Sultan Abdulfatah membalasnya melalui surat , yang menyatakan
bahwa "perundingan tidak mungkin dilalksanakan". Penolakan tersebut, berarti
menyulut sumbu perang terbuka. Pasukan‑pasukan Kesultanan Surasowan Banten, sebelumnya sudah
dipersiapkan dengan matang. Para komandan
tempur dari berbagai tingkat, telah ditunjuk untuk menempati pos‑posnya masing
masing.
1. Arya Suryanata, di
perairan Tangerang;
2. Tumenggung Wirajurit, di
perairan Karawang;
3. Ratu Bagus Singandaru,
di perairan Tanara;
4. Ratu Bagus Wiranatapada,
di perairan Pontang;
5. Suranubaya, di perairan
Labuhan Ratu; untuk mencegah pendaratan pasukan Kompeni Belanda di pantai
Selatan.
Selain itu, sebuah satuan tempur darat, ditempatkan di pantai
Caringin, perairan Selat Sunda, di bawah pimpinan Wirasaba dan Purwakarti. Pasukan tempur darat dengan kekuatan 5,000 orang, segera dikirimkan
ke daerah perbatasan Angke Tangerang, di bawah komando Senapati Ingalaga (nama
ini sebenarnya berarti: Panglima Perang). la didampingi oleh Rangga Wirapata
sebagal Wakil Panglima, dan Haji Wangsareja sebagal Imam Pasukan. Dengan melalui
jalan darat, selama 9 hari, pasukan tempur itu berangkat dari Ibukota Surasowan
ke daerah Angke‑Tangerang. Sedangkan satuan Artileri Banten, khusus ditugaskan melindungi
ibukota Surasowan, dengan kekuatan 60 meriam. Sepuluh di antaranya, jenis canon
(meriam besar), yang masing-masing diberi nama. Di antara meriam‑meriam itu: Si
Jaka Pekik, Si Muntab dan Si Kalantaka, yang terkenal paling ampuh dan paling
banyak mengenai sasaran. Pertahanan ibukota, dipusatkan di sekitar pelabuhan, untuk menjaga
serangan dari laut. Hal ini dilakukan, karena dalam rangka blokadenya, Kompeni
Belanda menempatkan satuan armada, yang terdiri dari 11 kapal di kawasan Teluk
Banten. Kapal‑kapal milik Kompeni Belanda itu, selalu "berkeliaran", di sekitar
Pulodua dan Pulolima. Oleh karena itu, Sultan Abdulfatah memerintahkan, agar
semua moncong meriam diarahkm ke pantai Teluk Banten.
Ketika Kompeni Belanda menyerang Surasowan dari taut, berhasil
digagalkan oleh pasukan tempur Kesultanan Surasowan Banten, setelah melalui
pertempuran sengit artileri sehari penuh. Kapal-kapal Kompeni Belanda, mulai
memuntahkah tembakan salvo. Akan tetapi, balasan dari pasukan ardleri Banten,
yang menyebar di sekitar pelabuhan, tidak memberi peluang kepada kapal‑kapal
Kompeni Belanda untuk mendekati garis pantai. Pertempuran sengit itu,
berlangsung sampai senja hari. Sebelum malam tiba, armada Kompeni Belanda, mundur dari garis pantai
pertahanan pasukan Kesultanan Banten, menuju ke laut lepas. Pasukan‑pasukan itu
tidak kembali lagi, selama perang antara Kesultanan Surawowan Banten dengan
Kompeni Belanda, yang berlangsung hampir satu tahun lamanya. Sementara itu, di garis depan Angke‑Tangerang, terjadi stagnasi.
Pertempuran yang sudah berlangsung hampir satu tahun, belum ada pihak yang
mendahului maju atau mundur. Padahal, dari kedua belah pihak, telah banyak
korban yang jatuh. Melihat kenyataan ini, Sultan Abdulfatah mengambil keputusan,
untuk mengadakan penyegaran pasukan.
Pimpinan baru, Arya Mangunjaya dan Arya Wiratmaja, ditunjuk untuk
mengganti Senapati Ingalaga dan Rangga Wirapata. Kemudian Sayid Ali, ditunjuk
menggantikan kedudukan Haji Wangsareja. Mereka dibekali pasukan baru, untuk
menggantikan sebagian pasukan lama, yang sudah memerlukan istirahat. Strategi militer Sultan Abdulfatah ini, dipandang sebagai ancaman
baru, oleh Kompeni Belanda. Sebab, dengan kekurangan tenaga cadangan dan sulit
mengganti maupun menambah pasukan, Kompeni Belanda hanya mampu bertahan. Di
Batavia, Gubemur Jenderal bersama 9 orang anggota Dewan Hindia, mengambil
keputusan untuk mengajukan usul perdamaian kepada Sultan Banten, melalui jasa
baik Sultan Jambi sebagai perantara. Akhirnya, pada tanggal 10 Juli 1659, di
bawah pimpinan Kiai Demang Dirade Wangsa dan Kiai Ingali Marta Sidana, bertindak
atas nama Sultan Jambi. Perundingan berlangsung di Batavia . Sultan Abdulfatah
sendiri hadir, untuk menghadapi Gubernur Jenderal Maetsuycker. Sultan Abdulfatah, menyetujui dan menandatangani perjanjian
"perdamaian” itu, karena pihak Kompeni Belanda, tidak menuntut hak monopoli.
Oleh karena itu, Kesultanan Surasowan Banten pun menarik kembali tuntutannya,
tentang hak membeli senjata dari Batavia , dan hak memperoleh rempah‑rempah (pala
dan cengkeh) serta timah secara langsung dari produsen. Kompeni Belanda,
diperlakukan sama dengan kongsi‑kongsi dagang lainnya, dan Kesultanan Surasowan
Banten, tetap harus membeli bahan rempah‑rempah dan timah, dari pasar Batavia .
Sebetulnya, titik berat dari perjanjian itu, adalah: pengukuhan
garis perbatasan, sepanjang sungai Cisadane. Setiap pelanggar batas dari kedua
belah pihak, tanpa alasan yang sah, akan ditangkap. Bagi orang Kompeni Belanda,
yang membelot ke Kesultanan Surasowan Banten, kemudian memeluk agama Islam,
dalam jangka waktu tiga bulan sebelum perjanjian ditandatangani, harus
dikembalikan ke Batavia. Sebagai catatan, Sultan Abdulfatah sangat menghargai orang asing,
terutama bagi yang memiliki keterampilan di bidang teknologi. Sultan Abdulfatah
akan menawarkan pekerjaan, dengan bayaran tinggi. Kemudian, bila teknisi yang
bersangkutan bersedia masuk Islam, Sultan Abdulfatah akan memberi jabatan resmi
kepadanya. Bahkan bila dianggap layak, akan diberi gelar kebangsawanan. Kemudian, Kesultanan Surasowan Banten harus membayar harga ternak,
yang telah dirampas oleh pasukan gerilya Banten, dari para kawula Kompeni
Belanda di sekitar Batavia . Kelak terbukti, bahwa para gerilyawan
Banten, mengalihkan operasi "penyergapan ternak", ke daerah pedalaman Gileungsi
dan Cianjur.
Sedangkan konsesi bagi Kompeni Belanda, adalah kantor perwakilannya
di ibukota Surasowan Banten, tetap diperbolehkan dibuka. Bahkan, biaya
pemeliharaan kantor tersebut, menjadi tanggungan pemerintah Kesultanan Banten.
Strategi Sultan Abdulfatah ini, bertujuan agar dapat mengawasi kegiatan Kompeni
Belanda secara lebih ketat. Sebab, kantor perwakilan Kompeni Belanda di ibukota
Surasowan Banten, sekaligus berfungsi sebagai "sarang mata‑mata".
Adapun keringanan lain yang diperoleh oleh Komperri Belanda, antara
lain sebagai berikut :
1. Bila kapal Kompeni yang masuk pelabuhan
Banten, atas permintaan kepala perwakilannya, atau terpaksa singgah karena
memerlukan air, tidak dikenakan bea pelabuhan.
2. Bila dalam kapal Kompeni itu, ada barang
yang dianggap terlarang, petugas pemeriksa dari pihak Banten, dapat menyitanya.
Kemudian barang tersebut dikirimkan ke Jakarta .
Di balik masa jeda "gencatan senjata" itu, sesungguhnya kedua belah
pihak "memerlukan istirahat". Perang selama 11 bulan dengan keadaan "seimbang",
telah ikut memperlancar tercapainya perdamaian, antara Kompeni Belanda dengan
Kesultanan Surasowan Banten.